Banjir yang dirindukan

Banjir adalah pemandangan yang biasanya menjadi pemandangan setelah hujan reda, dan ini bukan banjir biasa, karena banjir cuma terjadi di kali kampung saja, tidak sampai meluap seperti di Jakarta sana. Kali yang dulunya menjadi tempat satu-satunya MCK di kampung kami, sebelum PDAM masuk, karena tidak ada sumur yang mengeluarkan air.
Kampung kami memang unik, terlebih mitos ketidakbolehannya membangun rumah dengan batu bata, selain itu boleh, seperti gedhek, batu kali, atau batako yang baru lazim digunakan sebagai tembok awal tahun 90-an silam. Dan sore itu sepulang dari masjid, kusempatkan mampir ke tempat mbah uyutnya anak-anak, kebetulan pula abis dikasih rambutan ace, rejeki. Kebetulan pula habis hujan, jadi iseng-iseng mampir ke kali di bawah makam, tepatnya pleret kami menyebutnya, karena terdengar suara air gembrujuk tanda sedang banjir, atau paling tidak airnya lagi deras. Hal yang lazim terjadi setelah hujan beberapa waktu.
Ternyata benar, walaupun kali ini tidak sebesar banjir yang kuingat dulu ketika masih kanak-kanak, setidaknya mengobati rasa kangen suasana gembrujuk itu. Dan tak lupa kurekam dengan kamera hape, sekedar berbagi dengan kawan-kawan dan sedulur perantauan di sebuah grup kampung, yah… biar mereka tahu kalau kali kampung kita masih seperti dulu, alami, dan sebenarnya lokasi photoshoot yang keren. 
Yak, itulah kondisi banjir kecilnya, lumayan edum suasananya. Oh ya, sebenarnya ada pancurannya juga, tapi karena derasnya air, jadi belum sempet merekam. Nanti deh kapan-kapan. Merdesa!

Nak, kita sedang kembali ke jaman batu

Nak, jaman batu telah kembali muncul
Jaman di mana batu kembali jadi idola
Jaman di mana berburu dan meramu menjadi cara bertahan hidup
Jaman di mana binatang diteriakkan dimana-mana
“Itu dinosaurus! Itu tyrex!”
Dan itu wajar anak-anakku
Karena kita hidup di jaman batu berdampingan dengan binatang-binatang, begitu dekat.
Setidaknya, itulah penglihatan mereka.
Tapi tidak anakku, kalian jangan mengikuti mereka.
Kita masih berbudaya, berdampingan dengan sesama manusia, bukan binatang yang dengan mudah kita memanggilnya.
“Kucing loe!” Jangan kau ucapkan itu di depan orang, karena kucing akan marah mereka disamakan dengan manusia.
Biarkan mereka hidup kembali ke jaman purba anakku, hidup berdampingan bersama binatang-binatang, lalu meninggalkan nalar pikiran mereka.
Anak-anakku, jangan kau dengar ucapan mereka, bahwa bajingan itu boleh asal jujur, tidak korupsi, mencuri.
Jangan anakku, kebaikan dan keburukan itu tidak bisa berjalan beriringan, sebagaimana ultraman membasmi kejahatan monster di Jepang sana, seperti yang biasa kalian tonton.
Anak-anakku, berhati-hatilah, dunia ini sedang gila, jangan kita ikut-ikutan gila.
Jangan takut menjadi waras, yen ra edan ra keduman, ketahuilah kami akan mendampingi kalian untuk tetap waras.
Merdesa!