Nak, kita sedang kembali ke jaman batu

Nak, jaman batu telah kembali muncul
Jaman di mana batu kembali jadi idola
Jaman di mana berburu dan meramu menjadi cara bertahan hidup
Jaman di mana binatang diteriakkan dimana-mana
“Itu dinosaurus! Itu tyrex!”
Dan itu wajar anak-anakku
Karena kita hidup di jaman batu berdampingan dengan binatang-binatang, begitu dekat.
Setidaknya, itulah penglihatan mereka.
Tapi tidak anakku, kalian jangan mengikuti mereka.
Kita masih berbudaya, berdampingan dengan sesama manusia, bukan binatang yang dengan mudah kita memanggilnya.
“Kucing loe!” Jangan kau ucapkan itu di depan orang, karena kucing akan marah mereka disamakan dengan manusia.
Biarkan mereka hidup kembali ke jaman purba anakku, hidup berdampingan bersama binatang-binatang, lalu meninggalkan nalar pikiran mereka.
Anak-anakku, jangan kau dengar ucapan mereka, bahwa bajingan itu boleh asal jujur, tidak korupsi, mencuri.
Jangan anakku, kebaikan dan keburukan itu tidak bisa berjalan beriringan, sebagaimana ultraman membasmi kejahatan monster di Jepang sana, seperti yang biasa kalian tonton.
Anak-anakku, berhati-hatilah, dunia ini sedang gila, jangan kita ikut-ikutan gila.
Jangan takut menjadi waras, yen ra edan ra keduman, ketahuilah kami akan mendampingi kalian untuk tetap waras.
Merdesa!

Karena orang miskin hanya bisa bermimpi

Bejita
Agak gimana gitu ketika saya membaca berita yang dibagikan seorang kawan saya di media sosial hari ini, tentang seorang menteri yang berkomentar masalah nasib orang miskin pasca kenaikan harga BBM. “Karena orang miskin, jangankan konsumsi BBM, untuk punya kendaraan pun bagi mereka hanya mimpi” begitu kutip media berita tersebut.

Saya tidak ingin berkomentar tentang tetek bengek multiplier effect kenaikan bahan bakar, atau bagaimana menderitanya golongan di bawah nol alias minus dengan kebijakan yang dibilang tidak pro rakyat oleh banyak pihak ini, atau golongan pendukung yang mengamini apapun kebijakan idolanya, saya tidak mau mengomentarinya.
Seperti judul di atas, pernyataan pak menteri memang benar. Lho? Iya, memang benar adanya. Kenapa saya bisa berkata seperti ini? Karena dulu ketika Gusti Allah masih menguji keluarga kami dengan hidup miskin seadanya, untuk sekedar membayar SPP bulanan yang ribuan saja sulit, belum lagi jika kami tiga bersaudara harus membeli buku baru, LKS, atau seragam baru bersama-sama. Timing yang pas untuk ngutang, itulah yang biasa simbok atau bapak lakukan kalau sudah menghadapi posisi seperti ini. Bagaimana pun, bapak yang menjalani profesi sebagai pengusaha genteng dengan dibantu simbok, pun itu masih nyambi jadi buruh panggilan di usaha yang sama, yang modalnya dari hasil ngebon BRI Unit Karanganom II.

Mimpi, itulah yang sering kami lakukan ketika melihat teman-teman sebaya yang orang tuanya mampi, memiliki sepeda atau mainan baru sembari ngulu idu, pengen. Begitu pula saya tidak pernah membayangkan akhirnya bisa memiliki si MX, si Corro dan rumah di Madiun yang kami peroleh dengan hasil keringat sendiri, karena komitmen saya, orang tua saya dulu sudah rekoso menjadikan anaknya sampai begini, masa masih ngrekasakne wong tuwo?

Mempunyai mimpi tidaklah sepenuhnya salah, bahkan aneh kalau ada yang tidak punya mimpi karena semua berawal dari mimpi, begitu kata motivator. So? Mari kita bermimpi, DREAM ON!

Persangkaan

Mindset negatif
 
Negara kok banyak pejabat koruptornya
Propinsi kok jalannya banyak yang berlubang
Kabupaten kok banyak orang miskinnya
Kecamatan kok banyak anak putus sekolah
Desa kok banyak sawah gagal panen
Masjid kok banyak tukang gosipnya
Rumah kok banyak pertengkarannya

Mindset positif

Negara kok banyak pejabat amanahnya
Propinsi kok jalannya banyak yang mulus
Kabupaten kok banyak orang yang makmur
Kecamatan kok banyak anak berpendidikan
Desa kok banyak sawah subur
Masjid kok banyak tukang ngajinya
Rumah kok banyak kasih sayangnya
 
Kata mbah yai, prasangka itu bisa jadi doa, jadi kalau berprasangka itu
yang baik-baik saja. Itulah kenapa banyak motivator yang mendorong kita
untuk selalu positif thinking.
Lalu, ada yang bilang kalau
kepedulian di negeri ini sudah banyak berkurang. Tapi semoga saja bukan
karena banyak yang berprasangka sudah banyak orang yang mikirin dirinya
sendiri.
Apakah kita peduli? Bisa iya bisa tidak. Tapi setidaknya
kita peduli terhadap hati kita, dengan menyuruhnya banyak-banyak
berpositif thinking.
Salam jumat peduli