Bejita |
Agak gimana gitu ketika saya membaca berita yang dibagikan seorang kawan saya di media sosial hari ini, tentang seorang menteri yang berkomentar masalah nasib orang miskin pasca kenaikan harga BBM. “Karena orang miskin, jangankan konsumsi BBM, untuk punya kendaraan pun bagi mereka hanya mimpi” begitu kutip media berita tersebut.
Saya tidak ingin berkomentar tentang tetek bengek multiplier effect kenaikan bahan bakar, atau bagaimana menderitanya golongan di bawah nol alias minus dengan kebijakan yang dibilang tidak pro rakyat oleh banyak pihak ini, atau golongan pendukung yang mengamini apapun kebijakan idolanya, saya tidak mau mengomentarinya.
Seperti judul di atas, pernyataan pak menteri memang benar. Lho? Iya, memang benar adanya. Kenapa saya bisa berkata seperti ini? Karena dulu ketika Gusti Allah masih menguji keluarga kami dengan hidup miskin seadanya, untuk sekedar membayar SPP bulanan yang ribuan saja sulit, belum lagi jika kami tiga bersaudara harus membeli buku baru, LKS, atau seragam baru bersama-sama. Timing yang pas untuk ngutang, itulah yang biasa simbok atau bapak lakukan kalau sudah menghadapi posisi seperti ini. Bagaimana pun, bapak yang menjalani profesi sebagai pengusaha genteng dengan dibantu simbok, pun itu masih nyambi jadi buruh panggilan di usaha yang sama, yang modalnya dari hasil ngebon BRI Unit Karanganom II.
Mimpi, itulah yang sering kami lakukan ketika melihat teman-teman sebaya yang orang tuanya mampi, memiliki sepeda atau mainan baru sembari ngulu idu, pengen. Begitu pula saya tidak pernah membayangkan akhirnya bisa memiliki si MX, si Corro dan rumah di Madiun yang kami peroleh dengan hasil keringat sendiri, karena komitmen saya, orang tua saya dulu sudah rekoso menjadikan anaknya sampai begini, masa masih ngrekasakne wong tuwo?
Mempunyai mimpi tidaklah sepenuhnya salah, bahkan aneh kalau ada yang tidak punya mimpi karena semua berawal dari mimpi, begitu kata motivator. So? Mari kita bermimpi, DREAM ON!
Please follow and like us: