Husnuzhan perlu ilmu |
Belum tibakah masa untuk mengambil pelajaran? Tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan dan mempercayai. Tidak pula berlamban-lamban. Janganlah karena ingin husnuzhan, lalu mengabaikan pentingnya memeriksa. Jangan pula karena husnuzhan, lalu hilang kehati-hatian dan kecermatan. Bahkan terhadap yang sangat kita percayai pun, tatsabbut itu penting.
Sesungguhnya, husnuzhan tanpa ilmu adalah kebodohan yang sangat besar. Ia menjerumuskan sejauh-jauhnya dari kebaikan bersebab mempercayai orang fasik. Husnuzhan itu ditetapkan pada orang-orang yang memang dikenal kebaikannya sebagaimana pada kasus haditsul ifk. Bukan terhadap orang fasik.
Mari kita renungi kembali firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’anul Kariim seraya mengingat asbabun nuzul agar tak salah kaprah soal husnuzhan.
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” (QS. An-Nuur ,24: 12).
Tidakkah engkau perhatikan kaidah husnuzhan itu?
Bagaimana jika seseorang itu tidak diketahui keadaan pribadinya? Tidak mendukung, tidak memastikan kebaikannya dan tidak pula keburukannya.
Kita perlu berhati-hati dalam menerima berita. Bahkan tak mudah takjub oleh yang tampak gegap gempita. Belajarlah dari kasus Masjid Dhirar agar tak mudah takjub terhadap yang tampak baik:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuurat, 49: 6).
Perhatikan, terhadap orang fasik harus hati-hati.
Jadi, husnuzhan pun tidak asal. Apalagi menyebabkan kita serampangan mengambil berita, lalu menyerahkan kepercayaan sepenuhnya.
sumber: Mohammad Fauzil Adhim