Revolusi Gaplek |
Kata “sapaan” yang merupakan metamorfosis dari telo ini pertama kali saya dengar dari kelompok anak magang yang berasal dari Malang, yang kebetulan menjadi junior magang semasa di KPP Klaten dulu. Kata unik yang saya anggap menunjukkan ungkapan rasa jengkel kepada seseorang, apapun sebab kejengkelan tersebut, yang pasti untuk pertamakalinya saya mendengar kata unik yang dibahasakan dengan logat Jawa Timuran yang khas, yang belakangan saya dengar juga di JTV Surabaya. Sama halnya “telo” yang kadang saya dengar jika mendapati teman menunjukkan kejengkelannya akan suatu hal.
Dan beberapa hari ini banyak saya temui di media sosial tentang bagaimana orang-orang menunjukkan ragam reaksi pro dan kontra akan sebuah kebijakan soal “telo” yang digagas oleh seorang menteri di Kabinet Kerja. PNS dianjurkan mengkonsumsi “telo” dan jajanan tradisional lain jika sedang rapat. Rapat pun tidak dianjurkan untuk diadakan di hotel. Undangan pernikahan tidak boleh melebihi 400 dengan harapan tamu tidak melebihi 1000 orang. Ada yang berpendapat, terlalu ecek-ecek urusan makan telo jika harus diurus pejabat selevel menteri, ada juga yang bilang urusan sekecil ini saja diurusin, bagaimana yang lebih besar?
Entah apa yang menjadi latar belakang kebijakan ini dikeluarkan dengan “telo” sebagai maskotnya. Jika melihat dari tema yang diusung, yakni Gerakan Hidup Sederhana, mungkin memang “telo” sudah mewakili pola hidup sederhana. Ya, hasil pertanian yang banyak ditanam di lahan-lahan kurang air ini biasanya hanya menjadi menu makanan pokok musim kemarau di daerah-daerah rawan kekeringan, Gunung Kidul atau Pacitan pelosok misalnya, tentunya setelah diolah menjadi “gaplek”.
Dan hari ini, saya dapati beberapa kawan membagi berita tentang sebuah kementerian yang mengeluarkan anjuran tidak rapat di hotel tetapi mengadakan pertemuan di ballroom mewah. Mungkin pegawai yang bertanggungjawab akan pertemuan tersebut bingung, jika undangan banyak tapi ruang rapat atau aula di kantor tidak mencukupi, sedangkan jika menyewa ruangan pertemuan di hotel tidak sesuai dengan kebijakan sang pimpinan, lalu keluarlah ide asal bukan hotel. Masuk akal sebenarnya, dan jika mendengar beberapa pendapat pegawai urusan rapat, bahwa tidak selamanya rapat di kantor sendiri itu lebih murah daripada di hotel.
Kebijakan tetaplah kebijakan, tidak ada yang salah karena tujuan awalnya memang baik. Tapi jika dalam pelaksanaanya ada hal yang bisa menyulitkan, adalah hal yang wajar jika kebijakan itu harus disesuaikan. Telo memang tidak bersalah tetapi sekarang terlanjur banyak orang yang menuduh telo itu sudah berevolusi menjadi gaplek, sehingga muncullah beberapa komentar muncul dengan nada sumbang “NGGAPLEKI”. Mungkin inilah yang disebut revolusi gaplek. Hidup gaplek!
Please follow and like us: