Mungkin belum banyak yang tahu masalah dunia pertarifan yang satu ini. Jujur saja, saya sendiri baru tahu kemarin rabu sepulang nyoblos di kampung halaman saya, tepatnya di Desa Jurangjero Klaten. Lho, kok mudik bawa mobil, baliknya ga dibawa, memang kenapa mobilnya? Hehe, maklum mobil sepuh, sama saya aja umurnya lebih tuaan mobilnya dua tahun, jadi perlu diistirahatkan sebentar. Syukur-syukur punya rejeki lebih buat ngenomke mobil, aamiin.
Jadi ceritanya setelah mudik mulai pukul 02:40 waktu Madiun sampai Semin Gunung Kidul pukul 06:15an, karena nderekne ibu setelah seminggu membersamai cucu-cucunya yang ganteng, kami berempat langsung melanjutkan perjalanan ke desa di atas tadi. Mau apa? Ya nyoblos, sekalian memudikkan bocah-bocah, maklum sudah lama mereka ga mudik, banyak yang kangen.
Sebetulnya banyak cerita yang bisa dikisahkan, mulai dari coblosan yang lumayan sukses nduiti, wayah panen, dan lain-lain. Sebetulnya juga cerita kali ini sudah sempat saya tulis, cuman gara-gara nulisnya di hape andro terus aplikasinya crash tanpa auto save, dan ternyata setelah dibuka lagi cuma ada judulnya saja, seketika itu juga pupus harapan menulis, baru sekarang disempat-sempatkan nulis lagi, sabar…
Lho kok malah jadi kemana-mana sih ndes? Ok, kembali ke paragraf pertama.
Jadi, sekarang itu setelah kurang lebih tiga tahun tidak naik taksi, saya jadi tahu kalau tarif taksi dalam kota Madiun sekarang sudah naik. Yang dulunya Rp 15.000,- sekarang menjadi Rp 35.000,- berdasar pengalaman kami sekeluarga kemarin naik dari Stasiun Madiun ke rumah sekitaran Jalan Salak dengan taksi Merak Ati (warna putih). Beda lagi pengalaman adik saya, dia naik dari Terminal Madiun ke Jalan Salak kena tarif Rp 30.000,- dengan taksi Bima (warna hijau).
Mungkin itu dulu saja sharing kali ini, semoga bermanfaat bagi yang belum tahu, matur nuwun.