Haruskah Minuman Berpemanis Dikenai Cukai?

sumber: https://hellosehat.com/hidup-sehat/nutrisi/5-dampak-minuman-energi-pada-kesehatan-tubuh/

Resume dari “Should We Tax Sugar-Sweetened Beverages? An Overview of Theory and Evidence” oleh Hunt AllcottBenjamin B. LockwoodDmitry Taubinsky yang dimuat di The Journal of Economic Perspectives, Vol. 33, No. 3 (Summer 2019), pp. 202-227

Abstrak
Pajak (cukai) minuman berpemanis semakin populer dan telah menghasilkan debat publik yang aktif. Apakah itu ide yang bagus? Jika demikian, seberapa tinggi seharusnya pajaknya? Apakah pajak semacam itu regresif? Orang-orang di Amerika Serikat dan beberapa negara lain mengkonsumsi minuman berpemanis dengan jumlah yang luar biasa, dan bukti menunjukkan bahwa hal ini menimbulkan biaya kesehatan yang signifikan. Berdasarkan studi terbaru, kami meninjau prinsip-prinsip ekonomi dasar yang menentukan pajak yang optimal atas minuman berpemanis secara sosial. Pajak yang optimal tergantung pada (1) eksternalitas, atau biaya sistem kesehatan yang muncul akibat dari penyakit yang disebabkan oleh konsumsi minuman bermanis; (2) internalitas, atau biaya yang diderita oleh konsumen karena mengonsumsi terlalu banyak minuman manis yang terjadi karena pengetahuan gizi yang buruk dan/atau kurangnya kontrol diri; dan (3) regresif, atau seberapa besar beban keuangan dan manfaat internalitas dari pajak jatuh pada orang miskin. Peneliti merangkum bukti empiris tentang parameter kunci yang menentukan seberapa besar pajak yang seharusnya. Perhitungan peneliti menunjukkan bahwa pajak minuman berpemanis meningkatkan kesejahteraan dan tarif pajak minuman pemanis optimal mungkin lebih tinggi dari tarif 1 sen (Rp 143, kurs 3 Maret 2020) per ons yang paling umum digunakan di kota-kota AS. Kami mengakhiri dengan tujuh saran konkret untuk pembuat kebijakan mempertimbangkan pajak minuman berpemanis.

Latar Belakang
Negara yang sudah mengenakan cukai atas minuman berpemanis selain 8 negara bagian di Amerika Serikat adalah 39 negara, dan untuk negara ASEAN sendiri ada 3 negara yaitu, Thailand (2017), Brunei (2017), dan Filipina (2018).

Tingkat konsumsi minuman berpemanis menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat penghasilan suatu rumah tangga maka semakin rendah tingkat konsumsinya. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga miskin memiliki konsumsi minuman berpemanis yang lebih tinggi.

Ancaman kesehatan karena pengkonsumsian minuman berpemanis antara lain kegemukan, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung.

Biaya kesehatan yang dapat dihemat dengan mengenakan cukai atas minuman berpemanis diperkirakan sebesar US$ 17,1 miliar (Rp 243,2 triliun) selama 10 tahun, dengan tarif sebesar US$ 1 sen/ons-nya menurut Wang et al. (2012), atau sebesar US$ 23,6 miliar (Rp 335,7 triliun) menurut Long et al. (2015).

Logika ekonomi yang dipakai dalam pengenaan cukai minuman berpemanis adalah prinsip yang dibangun oleh Pigou (1920), yaitu “jika konsumsi barang yang membahayakan orang lain, maka orang akan cenderung mengonsumsinya berlebih jika pasar tidak diatur (dibatasi)”. Sehingga pengenaan pajak atas barang tersebut akan meningkatkan kesejahteraan dengan mengurangi konsumsinya.

Pedoman Dasar untuk Pembuat Kebijakan

  1. Fokus terhadap mengatasi eksternalitas dan internalitas, bukan terhadap pengurangan konsumsi minuman berpemanis.
    Tujuan kebijakan yang diharapkan adalah meningkatnya kesehatan atau mengurangi perilaku yang tidak menyehatkan.
  2. Target kebijakan adalah mengurangi tingkat konsumsi di antara orang-orang yang menghasilkan eksternalitas dan internalitas paling besar.
  3. Cukai/Pajak dikenakan atas setiap gram gula, bukan atas setiap ons cairan (minuman).
    Untuk menghindari pengenaan yang tidak tepat, dimana untuk kandungan pemanis yang berbeda dikenakan tarif yang seragam, karena dikenakan atas seluruh minuman, bukan atas kandungan pemanisnya.
  4. Minuman diet dan jus buah dikenakan pajak apabila mengakibatkan gangguan kesehatan.
    Pengenaan pajak atas minuman diet dan jus buah bukan bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak, tetapi memang minuman tersebut berbahaya bagi kesehatan.
  5. Pada saat melihat regresifitas, pertimbangkan manfaat internalitas, bukan hanya siapa yang menanggung pajaknya.
    Regresifitas dipandang bahwa pajak dikenakan lebih besar kepada masyarakat berpenghasilan lebih rendah. Untuk pajak atau cukai minuman berpemanis, harus lebih dilihat kepada manfaat pajaknya atau berkurangnya dampak bahaya minuman berpemanis terhadap kesehatan dan ekonomi.
  6. Jika dimungkinkan, diterapkan keseluruhan wilayah (negara)
    Hal ini disebabkan karena lokasi penelitian berada di USA, yang memiliki kebijakan penerapan pajak yang berbeda di setiap negara bagian.
  7. Manfaat pemajakan minuman berpemanis kemungkinan melebihi biayanya.
    Allcott, Lockwood, dan Taubinsky (2019) memperkirakan bahwa manfaat kesejahteraan sosial dengan pengenaan pajak yang optimal adalah sebesar US$ 2,4 – 6,8 miliar (Rp 34,1 – 96,7 triliun).

Pengenaan pajak atas minuman berpemanis gula bukan merupakan obat penawar untuk mengatasi masalah kegemukan di Amerika atau negara lain, tetapi pajak “dosa” (sin taxes) merupakan bukti salah satu instrumen kebijakan yang efektif dan dapat diterapkan pada masalah lain, dan bukti menunjukkan bahwa manfaatnya lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

Allcott, H., Lockwood, B., & Taubinsky, D. (2019). Should We Tax Sugar-Sweetened Beverages? An Overview of Theory and Evidence. The Journal of Economic Perspectives,33(3), 202-227. Retrieved March 3, 2020, from www.jstor.org/stable/26732328