Haruskah Minuman Berpemanis Dikenai Cukai?

sumber: https://hellosehat.com/hidup-sehat/nutrisi/5-dampak-minuman-energi-pada-kesehatan-tubuh/

Resume dari “Should We Tax Sugar-Sweetened Beverages? An Overview of Theory and Evidence” oleh Hunt AllcottBenjamin B. LockwoodDmitry Taubinsky yang dimuat di The Journal of Economic Perspectives, Vol. 33, No. 3 (Summer 2019), pp. 202-227

Abstrak
Pajak (cukai) minuman berpemanis semakin populer dan telah menghasilkan debat publik yang aktif. Apakah itu ide yang bagus? Jika demikian, seberapa tinggi seharusnya pajaknya? Apakah pajak semacam itu regresif? Orang-orang di Amerika Serikat dan beberapa negara lain mengkonsumsi minuman berpemanis dengan jumlah yang luar biasa, dan bukti menunjukkan bahwa hal ini menimbulkan biaya kesehatan yang signifikan. Berdasarkan studi terbaru, kami meninjau prinsip-prinsip ekonomi dasar yang menentukan pajak yang optimal atas minuman berpemanis secara sosial. Pajak yang optimal tergantung pada (1) eksternalitas, atau biaya sistem kesehatan yang muncul akibat dari penyakit yang disebabkan oleh konsumsi minuman bermanis; (2) internalitas, atau biaya yang diderita oleh konsumen karena mengonsumsi terlalu banyak minuman manis yang terjadi karena pengetahuan gizi yang buruk dan/atau kurangnya kontrol diri; dan (3) regresif, atau seberapa besar beban keuangan dan manfaat internalitas dari pajak jatuh pada orang miskin. Peneliti merangkum bukti empiris tentang parameter kunci yang menentukan seberapa besar pajak yang seharusnya. Perhitungan peneliti menunjukkan bahwa pajak minuman berpemanis meningkatkan kesejahteraan dan tarif pajak minuman pemanis optimal mungkin lebih tinggi dari tarif 1 sen (Rp 143, kurs 3 Maret 2020) per ons yang paling umum digunakan di kota-kota AS. Kami mengakhiri dengan tujuh saran konkret untuk pembuat kebijakan mempertimbangkan pajak minuman berpemanis.

Latar Belakang
Negara yang sudah mengenakan cukai atas minuman berpemanis selain 8 negara bagian di Amerika Serikat adalah 39 negara, dan untuk negara ASEAN sendiri ada 3 negara yaitu, Thailand (2017), Brunei (2017), dan Filipina (2018).

Tingkat konsumsi minuman berpemanis menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat penghasilan suatu rumah tangga maka semakin rendah tingkat konsumsinya. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga miskin memiliki konsumsi minuman berpemanis yang lebih tinggi.

Ancaman kesehatan karena pengkonsumsian minuman berpemanis antara lain kegemukan, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung.

Biaya kesehatan yang dapat dihemat dengan mengenakan cukai atas minuman berpemanis diperkirakan sebesar US$ 17,1 miliar (Rp 243,2 triliun) selama 10 tahun, dengan tarif sebesar US$ 1 sen/ons-nya menurut Wang et al. (2012), atau sebesar US$ 23,6 miliar (Rp 335,7 triliun) menurut Long et al. (2015).

Logika ekonomi yang dipakai dalam pengenaan cukai minuman berpemanis adalah prinsip yang dibangun oleh Pigou (1920), yaitu “jika konsumsi barang yang membahayakan orang lain, maka orang akan cenderung mengonsumsinya berlebih jika pasar tidak diatur (dibatasi)”. Sehingga pengenaan pajak atas barang tersebut akan meningkatkan kesejahteraan dengan mengurangi konsumsinya.

Pedoman Dasar untuk Pembuat Kebijakan

  1. Fokus terhadap mengatasi eksternalitas dan internalitas, bukan terhadap pengurangan konsumsi minuman berpemanis.
    Tujuan kebijakan yang diharapkan adalah meningkatnya kesehatan atau mengurangi perilaku yang tidak menyehatkan.
  2. Target kebijakan adalah mengurangi tingkat konsumsi di antara orang-orang yang menghasilkan eksternalitas dan internalitas paling besar.
  3. Cukai/Pajak dikenakan atas setiap gram gula, bukan atas setiap ons cairan (minuman).
    Untuk menghindari pengenaan yang tidak tepat, dimana untuk kandungan pemanis yang berbeda dikenakan tarif yang seragam, karena dikenakan atas seluruh minuman, bukan atas kandungan pemanisnya.
  4. Minuman diet dan jus buah dikenakan pajak apabila mengakibatkan gangguan kesehatan.
    Pengenaan pajak atas minuman diet dan jus buah bukan bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak, tetapi memang minuman tersebut berbahaya bagi kesehatan.
  5. Pada saat melihat regresifitas, pertimbangkan manfaat internalitas, bukan hanya siapa yang menanggung pajaknya.
    Regresifitas dipandang bahwa pajak dikenakan lebih besar kepada masyarakat berpenghasilan lebih rendah. Untuk pajak atau cukai minuman berpemanis, harus lebih dilihat kepada manfaat pajaknya atau berkurangnya dampak bahaya minuman berpemanis terhadap kesehatan dan ekonomi.
  6. Jika dimungkinkan, diterapkan keseluruhan wilayah (negara)
    Hal ini disebabkan karena lokasi penelitian berada di USA, yang memiliki kebijakan penerapan pajak yang berbeda di setiap negara bagian.
  7. Manfaat pemajakan minuman berpemanis kemungkinan melebihi biayanya.
    Allcott, Lockwood, dan Taubinsky (2019) memperkirakan bahwa manfaat kesejahteraan sosial dengan pengenaan pajak yang optimal adalah sebesar US$ 2,4 – 6,8 miliar (Rp 34,1 – 96,7 triliun).

Pengenaan pajak atas minuman berpemanis gula bukan merupakan obat penawar untuk mengatasi masalah kegemukan di Amerika atau negara lain, tetapi pajak “dosa” (sin taxes) merupakan bukti salah satu instrumen kebijakan yang efektif dan dapat diterapkan pada masalah lain, dan bukti menunjukkan bahwa manfaatnya lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

Allcott, H., Lockwood, B., & Taubinsky, D. (2019). Should We Tax Sugar-Sweetened Beverages? An Overview of Theory and Evidence. The Journal of Economic Perspectives,33(3), 202-227. Retrieved March 3, 2020, from www.jstor.org/stable/26732328

Memulai kembali

Image by Thomas Breher from Pixabay

Belum banyak yang dapat disuguhkan malam ini, mungkin karena suasana yang mendukung kaum rebahan –kalo kata anak sekarang- untuk berhibernasi. Malam tahun baru yang dingin karena Klaten seharian ini diguyur hujan, bahkan sampai tulisan ini diturunkan pun masih terdapat tetesan banyu langit.

Starting again, mungkin adalah frasa yang pas untuk menggambarkan blog di rumah yang baru ini. Setelah lama vakum dan terakhir diisi dengan tulisan istri 2016 silam. Dan di penghujung tahun 2019 ini kami mencoba memulai kembali belajar menulis.

Balai Desa Jurangjero, 31 Desember 2019

FreeTalk : Third Pregnancy

Sapu-sapu blog….
Berapa lama ya blog ini ditinggalin penghuninya? Hihihi, terakhir posting saya tertanggal tahun lalu, tepat sebulan sebelum si testpack menunjukkan garis merah dobelnya. Ya, tepatnya sih saya mau nyalahin datangnya kehamilan ketiga ini atas kemalasan ngeblog (dan masak dan nyuci dan nulis dan belajar dan lain-lain).

                                                                                        gambar dari sini

Awalnya sih dengan status sudah tinggal di rumah, ga ngantor lagi, saya sudah menyiapkan segudang rencana, mau ini, mau itu, ingin ini ingin itu banyak sekali *baling-baling bambu* *eh*. Tapi semua hilang dan tak ada bekasnya sejak suatu pagi saya menemukan sesuatu yang telah lama pergi : morning sickness….
Sebagai ibu dua anak yang mengalami kehamilan ketiga, awalnya dengan jumawa saya mengira bahwa kehamilan ini akan berjalan paling smooth, santai kayak di pantai, udah yang ketiga gitu loh… Gejala apa sih yang belum pernah saya rasakan sebelumnya? Meh…enteng mah hamil tuh.
Ternyata, sebagaimana tidak ada dua individu yang sama, kehamilan ini pun jauh berbeda dengan kehamilan kakak-kakaknya. Dari pagi sampai pagi saya tepar, membuka mata di jam sepuluh pagi serasa harus lari keliling stadion 4 kali bolak-balik (oke, oke saya lebay…tapi pokoknya uabot rek….)
Bahkan sebuah blog yang awalnya akan saya dedikasikan sebagai catatan si bayi selama di perut, menganggur tanpa guna, hanya tinggal nama, hahaha… Yasudahlah ya, bumil ga boleh dipaksa kan ya… harus bahagia, biar bayinya tumbuh sehat sejahtera 🙂
Bagitulah, postingan ini menandai kembalinya netbook di tangan saya niat untuk berbagi cerita disini. Semoga semangat saya bisa terjaga, ga ngilang kemana-mana lagi, aamiin.

Ngidam baguette

Assalamualaikum, reader… *pura2nya ada yang baca*
Fuwaaaah, lama banget ga ngisi blog. Dikarenakan satu dan lain hal,  mood saya ngeblog – yang emang dari sononya ga netep – makin sirna. Salah satunya karena alhamdulillah, keluarga kami bakal nambah anggota lagi, calon si bungsu (kalo ga nambah). Dan morning sickness telah menumbangkan saya, membuat saya jadi mirip ulat menjelang pupa.
Ngomongin hamil, ga jauh2 lah dari hal populer yang mengiringinya, ngidam. Selain dari membuat saya ga berkutik dengan serangan mual dan lelah level ibukota, saya ga banyak pingin macem2. Cukup makanan2 kategori hot or spicy,  cukupan lah melewati ujian kerongkongan sampai lambung. Kecuali yang satu ini, saya kepingin garlic bread!
Sebelum bilang gampang, saya ini tinggalnya di pinggiran kota kabupaten di wilayah jateng, yang peha terdekatnya mesti ke solo atau minimal ke amplaz, jogja. Karena saya ini penganut paham pergi berdua dengan suami dan meninggalkan anak2 dirumah adalah salah satu perilaku egois, serta memaksa pergi jauh naik motor membawa 2 balita itu berpotensi menyiksa diri sendiri dan orang lain, yowis lah, saya ngalah. Tak gawe dewe.
Gugling resep garlic bread, sajaknya ga susah2 amat. Justru masalahnya pada si rotinya, dimana saya bisa dapat baguette? Lagi2 kepentok, akhirnya saya memutuskan mencoba bikin sendiri. Jadi,  alhadulillah, ga jadi ya sudah. Pokok udah nyoba 🙂
Saya dapat resep baguette ala baboubsa dari blog mbak amy pangestu (http://mamiko.blogspot.com//). Berikut resepnya.
Baguette
Bahan :
Tepung terigu 500gr
Garam 4gr
Ragi 10gr
Air 375gr
Cara membuat :
1. Campur semua bahan kering, lalu masukkan air 325gr lalu aduk hingga rata.
2. Istirahatkan 30 menit.
3. Uleni dengan metode slap and fold
4. Tambahkan sisa air dengan metode stretch and fold
5. Istirahatkan selama 1 jam dengan diseling stretch and fold setiap 20 menit.
6. Fermentasikab di kulkas selama 21 jam, dalam plastik beroles minyak.
7. Keluarkan dalam suhu ruang selama 1 jam.
8. Bentuk memanjang dan istirahatkan selama 45 menit.
9. Beri irisan di permukaannya, lalu panggang selama 15 menit pada suhu 250 dercel (karena oven saha kurang panas, ditambah 10 menit).
10. Angkat dari oven setelah matang dan berwarna kecoklatan.

Membuat buletin sholat ied sederhana dengan scribus

Membuat buletin sholat ied sederhana dengan scribus
Seperti yang sudah kami post di awal-awal bikin blog ini dulu, tentang bagaimana membuat buletin sederhana khusus ketika sholat jumat tentunya dengan menggunakan software open source scribus. Sama sebetulnya, hanya bedanya kali ini saya lampirkan hasil belajar mandiri saya berupa file berekstensi .sla.
Sebenarnya tujuan awal pembuatan buletin ini adalah untuk memberikan laporan keuangan gerakan “Rantau Bakti Kampung” yang sudah berjalan sekitar 2 tahunan ini, mulai dari pemberian bantuan uang masuk sekolah, pembuatan lampu penerangan jalan dan lain-lain. Dan dengan pertimbangan bahwa momen sholat ied adalah waktu sebagian perantauan berkumpul serentak, kenapa tidak dibarengkan saja?
Dan akhirnya seperti inilah hasilnya, penggabungan artikel hikmah dan tanya jawab yang kami dapat di internet, karena minimnya ilmu kami, tentunya lebih aman mengambil ilmu ulama yang sudah terbukti kualitas keilmuannya. Bukan begitu?
Resepnya:
Jurus yang digunakan pun sederhana, dengan menggunakan wizard awal
ketika membuka program (new document), memilih 1 halaman kosong (single page) ukuran
kertas A4 landscape dengan diberi settingan 3 kolom, dengan gap yang
disesuaikan dengan selera.  

Jurus wajib adalah insert text frame, dimana akan kita isi text atau tulisan artikel kita nanti, klik dan tarik menyusuri kolom yang sudah terpola (saya membuat 1 lembar bolak balik masing-masing 3 kolom atau total 6 halaman, halaman satu mulai paling kanan)

karena 2 halaman, maka harus ditambah 1 halaman lagi dengan menyalin halaman yang ada, dengan jurus Page – Copy, maka akan muncul jendela seperti di atas

Jurus ketiga adalah memberi tulisan, caranya klik kanan text frame yang sudah dibuat tadi, pilih Get Text, atau Edit Text sesuai kebutuhan

Nah, karena text frame pada halaman satu cuma sak uprit yang mengakibatkan artikel terpotong, dan text frame di halaman kedua belum nyambung, maka perlu dibuatkan text link nya. Jurusnya, klik text frame halaman 1 lalu klik pada Item – Link Text Frame

Membuat buletin sholat ied sederhana dengan scribus
Seperti inilah hasilnya, dua text frame yang sudah memiliki link. Tanda garis panah hitam adalah hubungan 2 text frame, yang bisa dimunculkan di toolbar view.

Selanjutnya kita tinggal berimprovisasi saja, menggunakan insert text frame (T) insert image frame (I) dan edit text, penambahan garis atau polygon serta beberapa imajinasi.
Hasilnya bisa dilihat di link berikut: https://goo.gl/h0amTl
Penulis menggunakan Scribus 1.4.3 Portable, Merdesa!

Crispy almond and chocolate chips cookies

Cookies, kata ini menandai panjangnya pencarian saya atas cara yang benar membaca resep. Atau apa yang tak tertulis di resep. Pun, membawa saya lebih memahami tentang my kitchen mate, Oven.
Sebenernya saya selalu takut bikin cookies. Kenapa? Karena tulisan di resepnya gampang sekali. Iya, gampang sekali. DI RESEP.
Tulisannya cuma aduk campur dan sejenisnya. Oven sampai matang. Dinginkan. Ya ampun, inilah yang telah membuat saya terjebak, terperangkap, tenggelam dalam laut tak berkesudahan… (trus dilempar loyang)
Cookies pertama saya berakhir menjadi segumpal benda cokelat kering, pahit dan berbau hangus. Noooo…..!

Jadi ceritanya karena percaya letterlijk sama resep, saya masukin dough ke oven, pasang timer trus saya tinggal bermain sama Brissingr-nya Mas Pao. Setelah “ting”, ternyata si cookies udah bertransformasi sempurna menjadi adonan gosyong. Abis itu saya sadar, kalo manggang cookies itu mainnya feeling, bukan sekedar resep (ya iyalah…) Cookies-cookies berikutnya menandai pertarungan saya melewati rintangan, menuju resep yang paling iyes di lidah (lidah saya tentunya, hehe)
Nah, selera saya tuh sederhana aja, saya sukaaa banget sama cookies semacam goodtime, yang krispi, cokolati, dan yah…berasa goodtime. Sejauh ini menggugling, keknya kebalikan saya, kebanyakan orang suka cookies yang rada chewy. Apakah saya aneh? *sambil bawa peso*
Niat awalnya saya mau bikin drop cookiesnya anna olson, tapi berhubung foto hasilnya keknya juga semacam chewy, saya urung. Ganti resepnya dari blognya mbak Riana Ambarsari yang diadaptasi dari Ashley. Berikut resepnya :
Bahan :
 330 gram terigu protein sedang
1 sdt soda kue
1 1/2 sdt maizena
1/2 sdt garam halus
180 gram mentega, suhu ruang (aslinya dilelehkan)
180 gram gula halus (aslinya 200 gram gula pasir)
80 gr gula palem (aslinya 60 gram)
1 telur utuh
1 kuning telur
1 sdt vanilla essence (pasta vanilla)
220 gram Choco chips (aslinya 200 gr milk atau dark chocolate chips + 50 gr untuk garnish)
almond slices secukupnya untuk garnis
Cara membuat :
1. Ayak terigu, soda kue, maizena dan garam dalam mangkok, aduk rata.
2. Dalam wadah terpisah, aduk rata mentega, gula halus dan gula palem. Adonan akan menjadi halus dan creamy. Masukkan telur utuh, kuning telur, aduk rata. Tambahkan vanilla, aduk rata.
3. Tuangkan adonan basah ke adonan kering, aduk hingga rata dengan sendok kayu/spatula. Tambahkan choco chips. aduk rata.
4. Tutup dengan plastik wrp, simpan di kulkas minimal 3 jam (karena saya ketiduran sehabis tarawih, akhirnya baru besoknya adonan di oven, hihihi)
5. Keluarkan adonan dari kulkas, biarkan kurang lebih 10 menit agar mudah dibentuk. 
6. Bentuk adonan dengan tangan membentuk bulatan tidak sempurna sebesar
bola ping-pong, atau tergantung keinginan, letakkan di loyang kue
kering yang sudah dialasi silpat atau baking paper, beri jarak antara
adonan. (Batch pertama saya cetak pake scop es krim, jadi cookies raksasa yang rada chewy. Batch kedua saya cetak pake ukuran sendok makan, jadi pas seukuran goodtime. Dua-duanya langsung dihabiskan anak-anak di hari pertama, jadi buat yang difoto blog ini adalah batch ketiga)
7. Pipihkan sedikit adonan dengan jari. Tidak perlu membentuk permukaan
yang sempurna
8. Panggang dalam oven yang sudah dipanaskan 180 derajat Celsius( ukuran scop es krim selama 13 menit. ukurn sendok makan 9-10 menit. Ukuran batch ketiga lebih kecil, matang di menit ke 7-8. Ini untuk hasil cookies yang krispi lho ya)
9. Keluarkan dari oven, dinginkan 10 menit, pindahkan cookies ke atas rak, biarkan dingin seluruhnya. Simpan dalam wadah tertutup. (Kalau sempat disimpan)
Kan mumpung ini awal Ramadhan, bisa buat persiapan cookies lebaran juga. Dan (lagi-lagi) mumpung awal ramadhan, saya sekeluarga mengucapkan,

Mohon maaf atas segala khilaf yang disengaja maupun tidak, serta selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan.Semoga selepas Ramadhan, kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi, aamiin.

 Sekian food corner kali ini, Happy baking ^____^
 Eh, kalo ada yang heran kenapa saya pake loyang cheesecake teflon, itu karena abis pindahan bulan lalu, saya kehilangan baking paper, dan belum sempat lupa beli lagi, makanya gantinya pake loyang teflon, hehhe

Pekerjaan ibumu apa?

“Kalo budhe kerjaannya di sepatu, kalo pakdhe sugeng di tangerang. Kalo ayahmu kerjaannya apa? Ibumu kerjaannya apa?”
Deg!
Kaget lalu cengar-cengir mikirin jawaban apa kalau sebentar lagi si kakak lari ke kamar dan menanyakan apa jawabannya. Anak-anak ini ya, bahasan obrolannya sampe ke urusan kerjaan segala. Perasaan waktu kecil, nggak ada deh yang ngobrolin topik semacam ini di lingkungan permainan saya.
Tepat sebulan, saya pindah tugas dari belakang meja ke belakang meja lainnya. Dengan perubahan jobdesc, dari mengawasi orang-orang dewasa menjadi mengawasi dua balita plus 1 anak kecil yang sedang dalam tahap kritis terhadap apa pun di sekitarnya. Butuh adaptasi yang tidak sebentar.
Pertanyaan seputar -kenapa bulan warnanya putih kalo siang?, apa kucing kecil nggak takut jatuh? sampai kalo makan sayur aja nggak pakai nasi jadi kuat? kan sayur bikin kuat- kadang membuat keki mencari jawaban yang benar, tepat dan efisien. Benar : si anak jadi bertambah pengetahuannya. Tepat : Cara menjawab sesuai usianya, tidak membuatnya bingung. Dan efisien : Setelah dijawab, si bocah jadi tidak menggantinya dengan 25 pertanyaan selanjutnya, jadi ibunya bisa melanjutkan melipati baju kering atau mengaduk tepung. Jadi intinya, saya mesti belajar jadi guru deh….
Sewaktu kecil dulu, ibu sering mengarahkan saya menjadi guru, katanya sih melanjutkan profesi bapak, yang sebenarnya juga adalah cita-cita ibu yang tak sampai. Tapi karena saya tahu diri, kesabaran saya waktu masih muda dulu minim, menghadapi satu dua anak aja saya udah bingung, apalagi sekelas. Jadilah akhirnya saya batal menjadi guru. Plus, faktor lain mendorong saya untuk pada akhirnya lebih pilih kuliah yang lebih tidak memberatkan orangtua lebih jauh. Jadilah saya terdampar bekerja dibelakang meja.
Saya nggak pernah menyesali pilihan ini. Kalaupun bisa diulang, saya akan tetap pada pilihan yang sama. Karena baik dibelakang meja sana atau sini, saya suka kedua-duanya, dalam hal memaksa saya belajar setiap hari. Hanya saja, apa yang saya pelajari disini tentunya berbeda dengan saat saya resmi “bekerja”. Kalaupun pada akhirnya sekarang saya memilih disini, itu karena timbangan prioritas saya saat ini lebih condong disini, bersama anak-anak. Yang membawa perhatian saya kembali pada si bocah yang setengah berlari mendatangi dan melongok lewat pintu, bertanya dengan antusias.
“Ibu, pekerjaan ibu apa?”
“…………..”

Kering Tempe Kering

Ng…judulnya overdeskriptif ya, hehehe. Padahal maksud saya cuma mau membedakan 2 versi kering tempe. Meski namanya kering, ada kan yang membuat dengan versi agak basah. Jadi semacam oseng tempe yang diiris tipis. Biasanya sih orang-orang sepuh lebih suka yang kering basah (ra mudeng karepmu wis, wong kering kok basah).
Jadi ceritanya, adik wedok sing uayu dewe besok mau berangkat KKN ke Boyolali. Si bungsu ini tipe anak rumahan, seumur-umur belum pernah jauh dari simboknya. Kalo KKN gini, ya mau nggak mau si genduk belajar pisah dari mboke.
Konon kabarnya, karena satu dan lain hal, rombongan KKN yang biasanya dimasakkan makanan oleh pihak desa, kali ini harus menyediakan makanan sendiri. Dengan kata lain, masak dewe. Biar nggak ribet disana, kita akhirnya berinisiatif mbawain sangu kering tempe sebagai persediaan lauk disana. Kering tempenya yang versi kering beneran, biar awet maksudnya. Sebenernya sih, saya nggak yakin akan keawetan si kering ini, mengingat peserta KKN adalah anak-anak muda yang lagi umur-umur semego, hihihi.
Ya sudahlah, singkat cerita hari ini berjibaku di dapur bikin kering tempe. Sekali lagi versi kering lho ya *ditimpuk cobek*
Resep :
Standarnya, kering tempe bahannya harus ada tempenya ya >.<
Tempe diiris tipis-tipis
Bawang putih, bawang merah, lombok, diiris tipis juga
Kacang tanah kupas, Teri asin
Bahan-bahan diatas digoreng terpisah sampai kering, sisihkan.
Gula merah disisir, garam secukupnya
Penyedap/Kaldu bubuk secukupnya (optional, saya gak pake)

Cara membuat :
1. Panaskan minyak diatas wajan, masukkan bawang putih, bawang merah dan lombok goreng. Tambahkan air, garam, kaldu dan gula merah. Aduk sampai gula larut dan mengental (membentuk gulali)
2. Masukkan tempe, kacang tanah dan teri, aduk cepat sampai rata.
3. Matikan api, biarkan sampai dingin di wajan.
4. Pindahkan ke toples bertutup rapat agar tidak melempem.

Setelah baca ulang, mungkin lebih pas kalo namanya kering tempe renyah ya… Ah, yowis, yang lalu biarlah berlalu *clink!*

Lesehan Ikan Bakar Matoh – Ngawi

Review ini sudah sekian bulan ngendon di draft, dan baru sekarang bisa masuk kategori finished writing. Tapi gakpapa ya, kan katanya (kata siapa…) lebih baik terlambat daripada nggak diposting sama sekali. Iya kan ya… 😛
Nah, Rumah Makan Lesehan Matoh ini masih lumayan baru lho, waktu saya berkunjung kesana sih. Kalo sekarang ya nggak baru-baru amat lah. Oke, langsung aja ya..
Matoh terletak di Dusun Mbulakan, Desa Tempuran, Kecamatan Paron, Ngawi. Lokasinya di pinggir jalan Solo-Surabaya, dan mudah dijangkau dengan berbagai transportasi baik mobil pribadi maupun kendaraan umum.

Tempatnya luas dan nyaman, dengan pemandangan sawah menghampar hingga kejauhan. Kontras dengan sisi depan yang merupakan jalan raya antar propinsi. Dekorasi dan penataan dalamnya standar warung lesehan, mirip dengan pemancingan, dengan beberapa ruangan dibentuk menyerupai bale mengelilingi kolam ikan.
Oiya, peringatan nih. Sebelum kesana, kalau bisa telepon dulu untuk reservasi tempat dan memesan menu. Ada 3 alasan :
– Masaknya lamaaaaa
– Kalo terlalu siang, menu-menu tertentu sering sold out >.<
– Sekali lagi, ngelayaninnya lamaaaaaaa deh..
Menu yang disajikan cukup variatif, dengan berbagai jenis ikan, daging
unggas dan sayuran. Dengan harga yang relatif terjangkau dan rasa yang
enak, Matoh layak menjadi pilihan jika ingin merasakan kuliner di
sekitaran Ngawi.
Plus :
1. Tempat cozy, pemandangan OK
2. Masakan enak
3. Harga reasonable
4. Lokasi dekat, mudah dijangkau
Minus:
1. Proses masak dan pelayanan lambreta
2. Menu yang laris sering “ilang”